Monday 4 December 2017

Makalah Hukom Adat Laot Aceh

BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
            Aceh memiliki luas wilayah perairan laut seluas 295.370 km2, yang terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km2 dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 238.807 km2. Aceh juga memiliki panjang garis pantai 1.660 km. dan 800 km diantaranya pernah rusak akibat tsunami, termasuk kerusakan 14 unit dermaga dan 20.000 ha lahan pertambakan masyarakat. Dengan luas wilayah dan potensi kelautan Aceh tersebut, sebuah kewajaran apabila 164.080 orang (4,07%) penduduk Aceh menggantungkan hidup pada sektor perikanan, baik sebagai nelayan, pedagang, dan buruh lainnya. Secara spesifik pada tahun 2007 tercatat 65.886 orang masyarakat Aceh berprofesi sebagai nelayan tetap dan tidak tetap, yang terkonsentrasi di 17 kabupaten/kota, jumlah ini mengalami peningkatan 2,2% dari tahun 2006 (63.062 orang). Sebagai tambahan, di Aceh Utara terdapat 27 kecamatan di mana delapan diantaranya berada di pesisir dengan jumlah nelayan di kabupaten tersebut mencapai 5.222 orang (1,6%) penduduk (493.670 orang). Sementara Bireuen, 12 dari 17 kecamatan diantaranya merupakan kecamatan pesisir, dengan jumlah nelayan 9.121 orang, atau 2,6% dari jumlah penduduk (351.835 orang). Jumlah masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan ini bahkan menjadi faktor penentu munculnya profesi baru untuk menunjang aktivitas mereka, diantaranya adalah Panglima Laot, Utoh Peraho Aceh dan Muge Eungkot (pedagang ikan).
Dalam konteks pengembangan profesi nelayan sebagai penangkap ikan untuk komsumsi masayarakat di Aceh dan masyarakat dunia, di Aceh terdapat satu keterkaitan antara darat, hutan, laut sebuah sistem tradisional yang hingga saat ini masih berjalan. Sistem yang dimaksud di sini adalah interaksi antara nelayan dengan Panglima Laot, Utoh (pembuat perahu), muge dan toke (pemberi modal).
Masyarakat Nelayan Aceh adalah nelayan yang bertempat tinggal di wilayah pesisir yang mata pencahariannya sebagai penangkapan ikan di laut. Dalam kehidupan sosial kepada komunitas nelayan yang bermukim diwilayah pesisir terdapat norma-norma tradisi yang hidup dan berkembang hingga kini.  Kebiasaan tersebut yaitu, tentang adat istiadat yang mengkultur dan menjadi rujukan bagi masyarakat nelayan wilayah pesisir Aceh.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  HUKUM ADAT LAOT DI ACEH

            Dalam   masyarakat   Aceh,   terdapat   pengelompokan   penting   dalam   pembagian   dan pengaturan kekuasaan adat yang jelas pada suatu wilayah.  Pertama panglima laot. Lembaga hukum adat laot/panglima laot merupakan suatu lembaga yang memimpin adat dan kebiasaan yang berlak dibidang penangkapan ikan dilaut, termasuk dalam hal mengatur tempat (areal) penangkapan, penambatan perahu dan penyelesain sengketa bagi hasil. Pada dasarnya panglima laot merupakan tugas pokok dalam menjaga persatuan dan kesatuan kaum nelayan, dan tugas ini tidaklah mudah mengingat perilaku nelayan kadang kala menyerupai ganasnya laut (dalam penelitian hakim disebutkan nelayan sedikit tempramen. Hakim Nya’pha (1980) memberi catatan bahwa panglima laot harus mampu dan arif dalam bertindak Lembaga ini juga bertugas menegakkan aturan adat dan memberi sanksi berupa denda dan melaksanakan kenduri bagi nelayan diwilayahnya yang melanggar aturan berupa serangan- serangan karena suatu hal. Disamping itu panglima laut juga mempunyai kewenangan dibidang adat kelautan dalam hal mengurus dan mengatur batas wilayah lautan yang dapat untuk dilayari dan dapat dipunguti hasil. Kedua, keujreun blang. Keujreun blang berkaitan dengan kegiatan bersawah, figur  yang menjadi keujreun blang pun biasanya berasal dari petani yang tekun dan disiplin. Biasanya untuk dapat menduduki jabatan fungsionaris lembaga keujreun blang harus memenuhi syarat-syarat, selain hasil pemilihan dan persetujuan pejabat setempat, yakni (1) berpengalam dalam bidang kemasyarakatan, (2) menguasai hukum pertanian, (3) memahami keuneunong. Disamping itu keujreun blang dalam hal lain bersama para pimpinan adat lainnya berwenang mengadili dan memberi   sanksi   pada   pelanggaran   hukum   adat   dibidang   pertanian,   baik   itu   pada   prosesi pelaksanaan itu sendiri, maupun dalam hal-hal lain yang berkaitan lansung dengan pelaksanaan adat istiadat pertanian.
Ketiga lembaga petuah seneubok, yang merupakan salah satu lembaga yang memimpin dan mengatur tentang pembukaan lahan (hutan) untuk pertanian dan perkebunan. Lembaga ini berwenang dalam mengatur dan mengatur proses pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat adat sehingga setiap masyarkat akan memperoleh hak yang sam dalam pembukaan hutan. Lembaga ini menjadi lambaga yang harus dipatuhi oleh setiap masyarakat adat yang ingin membuka ladang untuk pertanian karena lembaga ini dapat memberi sanksi bagi yang melanggarnya. Bidang   perburuan   pun   sebagai   bagian   dari   keberadaan   hutan,   para   pemburu   harus mematuhi   adat   gle   yang   diatur   lembaga   seunebok.   Dalam   adat   Aceh,   lembaga   seunebok mengatur masalah perburuan untuk kelestarian alam dan lingkungan hutan,
B.  PANGLIMA LAOT 
            Panglima Laôt merupakan suatu struktur adat di kalangan masyarakat nelayan di propinsi Aceh, yang bertugas memimpin persekutuan adat pengelola Hukôm Adat Laôt. Hukôm Adat Laôt dikembangkan berbasis syariah Islam dan mengatur tata cara penangkapan ikan di laut (meupayang), menetapkan waktu penangkapan ikan di laut, melaksanakan ketentuan-ketentuan adat dan mengelola upacara-upacara adat kenelayanan, menyelesaikan perselisihan antar nelayan serta menjadi penghubung antara nelayan dengan penguasa (dulu uleebalang, sekarang pemerintah daerah).
            Panglima Laot mulai dikenal sejak masa Kesulatanan Aceh dahulu. Di masa lalu, Panglima Laôt merupakan perpanjangan kedaulatan Sultan atas wilayah maritim di Aceh. Dalam mengambil keputusan, Panglima Laôt berkoordinasi dengan uleebalang, yang menjadi penguasa wilayah administratif. Struktur kelembagaan Panglima Laôt bertahan selama masa penjajahan Belanda (1904-1942), pendudukan Jepang (1942-1945) hingga sekarang. Struktur ini mulanya dijabat secara turun temurun dan sekarang dipilih secara musyawarah dengan pertimbangan senioritas dan pengalaman dalam bidang kemaritiman.
Struktur adat ini mulai diakui keberadaannya dalam tatanan kepemerintahan daerah sebagai organisasi kepemerintahan tingkat desa di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 1977 (Surat Keputusan Bupati Aceh Besar No. 1/1977 tentang Struktur Organisasi Pemerintahan di Daerah Pedesaan Aceh Besar). Akan tetapi, fungsi dan kedudukannya belum dijelaskan secara detail. Pada tahun 1990, Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Aceh menerbitkan Peraturan Daerah No. 2/1990 dan Qanun nomor. 9 tahun 2008 serta qanun nomor 10 tahun 2008 tentang lembaga adat tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat, yang menyebutkan bahwa Panglima Laôt adalah orang yang memimpin adat istiadat, kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan di laut.
C.  Kewenangan Adat
            Panglima Laôt berada di luar struktur organisasi pemerintahan, tetapi bertanggung jawab kepada kepala daerah setempat (Gubernur, Bupati). Wilayah kewenangan seorang Panglima Laôt tidak mengacu pada wilayah administrasi pemerintahan, melainkan berbasis pada satuan lokasi tempat nelayan melabuhkan perahunya, menjual ikan atau berdomisili yang disebut Lhôk. Lhôk biasanya berupa pantai atau teluk, bisa mencakup wilayah seluas sebuah desa/gampong, beberapa desa/gampong, kecamatan/mukim, bahkan satu gugus kepulauan. Di masa lalu, kewenangan adat Panglima Laôt meliputi wilayah laut dari pantai hingga jarak tertentu yang ditetapkan secara adat, yaitu ke darat sebatas ombak laut pecah dan ke laut lepas sejauh kemampuan sebuah perahu pukat mengelola sumber daya kelautan secara ekonomis. Seiring perkembangan teknologi perikanan, wilayah penangkapan ikan nelayan makin meluas dan melampaui batas-batas wilayah tradisional dalam lhôk, melintasi batas antar kabupaten, propinsi bahkan hingga perairan internasional. Untuk mengantisipasi konflik antar lhôk, dibentuklah Panglima Laôt tingkat Kabupaten dan Provinsi.
Wewenang Panglima Laot diatur dalam pasal 28 ayat (2) Qanun No.9 Tahun 2008. Pasal 28 ayat (1) menyebutkan, Panglima Laot atau nama lain berwenang (a). Menentukan tata tertib pengkapan ikan atau meupayang termasuk menentukan bagi hasil dan hari-hari pantang melaut;, (b). Menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang terjadi dikalangan nelayan;, (c). Menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antar wilayah Lhok;, dan (d). Mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laut, peningkatan sumberdaya dan advokasi kebijakan bidang kelautan dan perikanan untui peningkatan kesejahteraan nelayan. Secara umum wewenang Panglima Laot mencakup 3 hal yaitu : 1) tertaib melaut, 2). Peradilan adat, 3). Adavokasi nelayan
D.  Fungsi dan tugas
            Secara umum, menurut pasal 28 ayat (2,3 dan 4) Qanun No.9 Tahun 2008 menyebutkan, Panglima Laot atau nama lain fungsi Panglima Laôt meliputi tiga hal, yaitu mempertahankan keamanan di laut, mengatur pengelolaan sumber daya alam di laut, mengatur pengelolaan lingkungan laut, advokasi dan koordinasi. Tata cara penangkapan ikan di laut (meupayang) dan hak-hak persekutuan di dalam teritorial lhôk diatur dalam Hukum Adat Laôt, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Panglima Laôt sebagai pemimpin persekutuan masyarakat adat.
Dalam hukum adat ini, diatur pengeluaran ijin penangkapan ikan, baik yang diberikan oleh Panglima Laôt Lhôk maupun oleh pihak yang telah mempunyai hak penangkapan ikan terlebih dahulu di wilayah lhôk tersebut. Akan tetapi, perijinan yang dikeluarkan terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan pawang pukat dan geuchik agar tidak merugikan pihak-pihak lain yang berkepentingan di dalamnya.
            Selanjutnya dalam kerangka hukum nasional, setiap nelayan harus mengajukan ijin resmi berlayar dan menangkap ikan yang dikeluarkan oleh Syahbandar (Harbourmaster) dan Dinas Perikanan dan Kelautan setempat dengan rekomendasi (pas biru) dari Panglima Laôt. However, meski sudah mengantongi ijin tersebut, nelayan yang ingin bersandar atau menangkap ikan di dalam wilayah lhôk tertentu harus mengikuti aturan-aturan hukum adat Laôt yang menaungi wilayah tersebut.
E.  Tradisi menangkap ikan (meupayang)
            Masyarakat nelayan Aceh mengenal beberapa teknik penangkapan ikan di laut dan teknik ini diatur dalam Hukôm Adat Laôt, seperti seperti Palong, Pukatlanggar, Pukat Aceh, Perahoe, Jalo, Jeue, Jareng, Ruleue, Kawego, Kawe tiek, Geunengom, Bubee, Sawok/Sareng, Jang, Jeureumai,dan Nyap. Dalam menjalankan hukum Adat Laot dibutuhkan seorang “panglima laot lhok” (panglima laut wilayah) yang dipilih dari sejumlah “pawang laot” (pawang laut) yang merepresentasikan nelayan di dalam komunitasnya. Seorang panglima laut yang terpilih harus memiliki pemahaman yang baik terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan profesi nelayan, seperti keahlian membaca cuaca, menafsir fenomena alam, dan pengetahuan untuk bisa mengidentifikasi lokasi-lokasi ikan yang banyak. Di samping itu seorang panglima laut harus pula bijaksana, serta memiliki kepemimpinan yang kuat.

F.   Konflik dan Mediasi dalam Masyarakat Adat Laot
            Penyelesaian sengketa secara mediasi itu tidak terlepas daripada  akar budaya masyarakat Aceh. Penyelesaian damai sering juga di sebut sebagai Peradilan Hukum Adat/Peradilan Adat saja. Namun yang terpenting adalah pada terapannya, model-model mediasi di dalam masyarakat Aceh, sudah lama dikenal, jauh sebelum masyarakat Aceh mengenai hukum Indonesia. Hanya saja, di Aceh model peudame ini belum menjadi perhatian banyak pihak. Namun, dalam perjalanan sejarah nya, ada beberapa hukum adat dan perangkatnya yang mencoba untuk menyelesaikan persoalan adat, yang tidak hanya konflik, tetapi juga urusan-urusan kehidupan sehari-hari.
Adanya lembaga-lembaga adat di Aceh seperti yang sekarang telah diakui  dalam peraturan perundang-undangan, sebelumnya digagas oleh Sultan Alauddin Riayatsyah II Al Qahhar (Poe teumeuruhom) (1539-1571), dimana sebelum adanya beliau, adat yang berlaku di Aceh adalah adat plak pleung. Sultan menyusun struktur masyarakat Aceh mulai dari sistem kependudukan sampai dengan pemerintahan dan terkenal dengan ungkapanya sebagai berikut:

G.  Rumoh meu adat; pukat meu kaja; Umong meu ateung; ureung meu peutua; (Rumah bertata karma, pukat bertali temali, Sawah berpematang, orang berpemimpin)
            Hadih maja tersebut mengadung pengertian bahwa dalam menjalani kehidupan dan dalam bertingkah laku serta berhubungan sesamanya, setiap orang dibatasi oleh hukum dan adat, ibarat sawah yang dibatasi oleh  pematang. Demikian pula  setiap manusia yang hidup bersama harus mempunya pimpinan serta diatur oleh adat istiadat. Bila dalam kehidupan bersama tersebut orang menginginkan hasil yang sebaik baiknya (seimbang, rukun, tenteram, aman dan damai), maka adat harus berperan pula. Ibarat sebuah pukat yang mempunyai jaring dan tali temali, yang menghambat ikan keluar dari jarring pukat tersebut.















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            pengaturan kekuasaan adat yang jelas pada suatu wilayah.  Pertama panglima laot. Lembaga hukum adat laot/panglima laot merupakan suatu lembaga yang memimpin adat dan kebiasaan yang berlak dibidang penangkapan ikan dilaut, termasuk dalam hal mengatur tempat (areal) penangkapan, penambatan perahu dan penyelesain sengketa bagi hasil. Pada dasarnya panglima laot merupakan tugas pokok dalam menjaga persatuan dan kesatuan kaum nelayan, dan tugas ini tidaklah mudah mengingat perilaku nelayan kadang kala menyerupai ganasnya laut (dalam penelitian hakim disebutkan nelayan sedikit tempramen. Hakim Nya’pha (1980) memberi catatan bahwa panglima laot harus mampu dan arif dalam bertindak Lembaga ini juga bertugas menegakkan aturan adat dan memberi sanksi berupa denda dan melaksanakan kenduri bagi nelayan diwilayahnya yang melanggar aturan berupa serangan- serangan karena suatu hal. Disamping itu panglima laut juga mempunyai kewenangan dibidang adat kelautan dalam hal mengurus dan mengatur batas wilayah lautan yang dapat untuk dilayari dan dapat dipunguti hasil.
Saran
            Masyarakat Nelayan Aceh adalah nelayan yang bertempat tinggal di wilayah pesisir yang mata pencahariannya sebagai penangkapan ikan di laut. Dalam kehidupan sosial kepada komunitas nelayan yang bermukim diwilayah pesisir terdapat norma-norma tradisi yang hidup dan berkembang hingga kini.  Kebiasaan tersebut yaitu, tentang adat istiadat yang mengkultur dan menjadi rujukan bagi masyarakat nelayan wilayah pesisir Aceh.


No comments:

Post a Comment

Jika jamur musnah, maka bangkai makhluk hidup akan lbh lambat dlm proses pembusukannya krna hnya bergantung pada bakteri. Setidaknya seperti itu

Bumi adalah tempat terjadinya organisasi kehidupan mulai dari sel hingga biosfer. Diantara individu2 yg ada di bumi, terjadi peristiwa makan...